Tak Ada Yang Ingin Jadi Maling, Nak, Maafkan Bapak

On 23.47.00 with No comments

 
Komarudin menghuni ruang kost termurah dan berada di posisi paling sudut dekat kamar mandi bersama. Hanya diterangi lampu bohlam 5 watt, kamar Komar memang menjadi kamar paling suram dan paling lembab dan dingin. Itulah kenapa para penghuni kost lainnya menyebutnya Komarudin, kependekan dari 'Kostnya temaram, udaranya dingin.'
Komar. Laki - laki kelahiran Pulau Sumbawa yang saat itu sudah hampir setahun merantau ke Mataram bekerja sebagai sais atau kusir Cidomo, kendaraan tradisional beroda dua yang ditarik kuda seperti delman. Dari hasil harian yang dikumpulkan, Komar bisa menyewa kamar kost kecil dan sederhana berukuran 3 X 3, makan dua kali sehari a la kadarnya dan membayar bagi hasil kepada pemilik cidomo yang disewanya. Sebagian kecil lainnya dia simpan di bawah kasur untuk kemudian dikirimkan ke kampung halamannya di sebuah desa 33 km di luar Kota Bima, Pulau Sumbawa.
Di kampungnya, menanti 2 anak laki - laki kecilnya yang masing - masing berumur 7 dan 5 tahun, yang dititipkan Komar kepada ibu dan adik perempuannya. Sedang isterinya, sudah hampir 2 tahun tidak terdengar kabar beritanya, sejak memutuskan pergi bekerja ke Arab Saudi, sebagai TKW ilegal. Kabar selentingan satu - satunya dari seorang tetangga yang pulang bekerja menjadi TKW dari sana tentang istrinya, adalah bahwa istrinya telah menikah lagi dengan laki - laki sesama migran yang memiliki usaha kios kelontong dan cinderamata Haji di Mekkah.
Pagi itu, kost - kost an sederhana yang terletak di seberang tempat Komar tinggal, gempar. Dua penghuninya kalang kabut karena barang - barang berharga di kamarnya hilang. Barang - barang yang sebenarnya tidak begitu mewah, namun berharga bagi mereka, orang - orang dari kelompok pekerja tak berkerah dari golongan ekonomi lemah. Sebuah TV, sepasang HP buatan Cina dan beberapa ratus ribu Rupiah yang raib bersama dompetnya. Sumpah serapah yang keluar dari mulut kedua laki - laki penghuni kost itu menarik perhatian warga untuk mendekat. Pengurus RT dan para tetanggapun kontan datang berkerumun demi mendengar ribut - ribut yang memecah kesunyian pagi di Kampung Majeluk di pinggir Kali Jangkuk. Polisipun segera dipanggil untuk membantu mengurai masalah, meneliti dan memeriksa TKP serta menindaklanjutinya dalam upaya pencarian pelakunya. Setelah mendengarkan keterangan para korban dan saksi - saksi.
Polisi menetapkan bahwa terduga pelakunya adalah penghuni satu - satunya kamar yang kosong di pagi hari itu. Kamar kost yang ada di pojok berdekatan dengan kamar mandi dan toilet. Komar lah penghuni kamar yang kosong itu, yang memang semalam menjelang dini hari ada seorang tetangga melihat dia pulang ke kamar kostnya, lalu pergi tergesa - gesa. Dugaan menguat karena saat kamarnya dibuka paksa seluruh barang - barang di kamar Komarpun telah lenyap. Di kamar 3 x 3 meter itu, hanya tertinggal lemari kayu kecil kosong dan kasur busa tipis serta sebuah bantal yang memang di sediakan oleh induk semang kost - kostan sebagai fasilitas tambahan selain listrik dan lampu penerangan. Kamar Komar nampaknya memang sudah ditinggalkan.
Siang menjelang sorenya, Komarudin tertangkap di Pelabuhan Haji, saat menunggu feri dan hendak menyeberang ke Pulau Sumbawa. Bukti dan saksi serta pengakuan penadah yang menerima barang curiannya, memberatkan dirinya hingga dia menjadi tersangka utama atas pencurian yang dilakukan terhadap tetangga - tetangga kostnya.
Dia digelandang kembali ke Kota Mataram oleh petugas kepolisian yang bergerak cepat sejak pagi menelusuri jejaknya dan akhirnya berhasil menangkapnya tanpa perlawanan dan tiada bisa menyangkal. Komar sebenarnya sudah mengiba sejadi - jadinya dan memohon untuk dilepaskan, namun petugas tetap bergeming karena hukumlah yang harus ditegakkan, bukan karena rasa kasihan. Malam itu Komar resmi dijebloskan ke dalam sel tahanan untuk menunggu hari - hari persidangan yang akan menjatuhinya dengan hukuman yang sepadan.
Sepanjang malam, Komar hanya duduk meringkuk di sudut ruang tahanan. Ransum makan malam, nasi dingin hampir basi berlauk tempe dan sayur kangkung yang diberikan oleh petugas tak disentuhnya sesendokpun. Matanya yang merah dan sembab menerawang menembus jeruji besi yang mengurungnya, seolah berusaha mencari - cari dan menjangkau bayangan anak - anaknya di kampung halamannya. Anaknya yang kecil sedang tergolek lemah didera busung lapar. Anaknya yang besar, beberapa hari sebelumnya didiagnosa dokter RSUD, menderita kelainan darah langka yang mengharuskan dia selanjutnya harus ditransfusi setiap dua minggu sekali atau dioperasi dengan biaya dan resiko yang sama - sama tinggi. Biaya yang senilai ribuan kali pendapatan per hari Komarudin yang bekerja sebagai sais Cidomo di Kota Mataram.
Itulah berita yang diterima Komar dari kampung halamannya tentang nasib anak - anaknya yang sudah hampir 6 bulan tak ditengoknya. Berita yang diterima kemarin pagi, dua hari sebelumnya dari tetangganya melalui HP milik rekannya si pemilik Cidomo. Berita yang membuatnya kalap dan gelap mata merampok teman - teman kostnya untuk bekal pulang menemui anak - anaknya. Berita yang mengantarkannya ke tahanan polisi di Kota Mataram, yang "kondisinya temaram dan udaranya dingin"alias Komarudin, seperti namanya.
Dan malam itu, bagi Komarudin, malam menjadi terasa semakin temaram dan udara pun menjadi semakin dingin, jika mengingat temaramnya malam dan dinginnya udara di bilik papan rumah ibunya di kampung halaman, dimana kedua anaknya tergolek tak berdaya sambil merintih memanggil - manggilnya: "Amaa ... Amaa ...

Sumber: Vemale.com
loading...
Next
« Prev Post
Previous
Next Post »