![](http://cdn.klimg.com/vemale.com/headline/650x325/2016/05/tak-ada-yang-ingin-jadi-maling-nak-maafkan-bapak.jpg)
Komarudin menghuni ruang kost termurah dan
berada di posisi paling sudut dekat kamar mandi bersama. Hanya diterangi
lampu bohlam 5 watt, kamar Komar memang menjadi kamar paling suram dan
paling lembab dan dingin. Itulah kenapa para penghuni kost lainnya
menyebutnya Komarudin, kependekan dari 'Kostnya temaram, udaranya
dingin.'
Komar. Laki - laki kelahiran Pulau Sumbawa yang saat
itu sudah hampir setahun merantau ke Mataram bekerja sebagai sais atau
kusir Cidomo, kendaraan tradisional beroda dua yang ditarik kuda seperti
delman. Dari hasil harian yang dikumpulkan, Komar bisa menyewa kamar
kost kecil dan sederhana berukuran 3 X 3, makan dua kali sehari a la
kadarnya dan membayar bagi hasil kepada pemilik cidomo yang disewanya.
Sebagian kecil lainnya dia simpan di bawah kasur untuk kemudian
dikirimkan ke kampung halamannya di sebuah desa 33 km di luar Kota Bima,
Pulau Sumbawa.
Di kampungnya, menanti 2 anak laki - laki
kecilnya yang masing - masing berumur 7 dan 5 tahun, yang dititipkan
Komar kepada ibu dan adik perempuannya. Sedang isterinya, sudah hampir 2
tahun tidak terdengar kabar beritanya, sejak memutuskan pergi bekerja
ke Arab Saudi, sebagai TKW ilegal. Kabar selentingan satu - satunya dari
seorang tetangga yang pulang bekerja menjadi TKW dari sana tentang
istrinya, adalah bahwa istrinya telah menikah lagi dengan laki - laki
sesama migran yang memiliki usaha kios kelontong dan cinderamata Haji di
Mekkah.
Pagi itu, kost - kost an sederhana yang terletak di
seberang tempat Komar tinggal, gempar. Dua penghuninya kalang kabut
karena barang - barang berharga di kamarnya hilang. Barang - barang yang
sebenarnya tidak begitu mewah, namun berharga bagi mereka, orang -
orang dari kelompok pekerja tak berkerah dari golongan ekonomi lemah.
Sebuah TV, sepasang HP buatan Cina dan beberapa ratus ribu Rupiah yang
raib bersama dompetnya. Sumpah serapah yang keluar dari mulut kedua laki
- laki penghuni kost itu menarik perhatian warga untuk mendekat.
Pengurus RT dan para tetanggapun kontan datang berkerumun demi mendengar
ribut - ribut yang memecah kesunyian pagi di Kampung Majeluk di pinggir
Kali Jangkuk. Polisipun segera dipanggil untuk membantu mengurai
masalah, meneliti dan memeriksa TKP serta menindaklanjutinya dalam upaya
pencarian pelakunya. Setelah mendengarkan keterangan para korban dan
saksi - saksi.
Polisi menetapkan bahwa terduga pelakunya adalah
penghuni satu - satunya kamar yang kosong di pagi hari itu. Kamar kost
yang ada di pojok berdekatan dengan kamar mandi dan toilet. Komar lah
penghuni kamar yang kosong itu, yang memang semalam menjelang dini hari
ada seorang tetangga melihat dia pulang ke kamar kostnya, lalu pergi
tergesa - gesa. Dugaan menguat karena saat kamarnya dibuka paksa seluruh
barang - barang di kamar Komarpun telah lenyap. Di kamar 3 x 3 meter
itu, hanya tertinggal lemari kayu kecil kosong dan kasur busa tipis
serta sebuah bantal yang memang di sediakan oleh induk semang kost -
kostan sebagai fasilitas tambahan selain listrik dan lampu penerangan.
Kamar Komar nampaknya memang sudah ditinggalkan.
Siang menjelang
sorenya, Komarudin tertangkap di Pelabuhan Haji, saat menunggu feri dan
hendak menyeberang ke Pulau Sumbawa. Bukti dan saksi serta pengakuan
penadah yang menerima barang curiannya, memberatkan dirinya hingga dia
menjadi tersangka utama atas pencurian yang dilakukan terhadap tetangga -
tetangga kostnya.
Dia digelandang kembali ke Kota Mataram oleh
petugas kepolisian yang bergerak cepat sejak pagi menelusuri jejaknya
dan akhirnya berhasil menangkapnya tanpa perlawanan dan tiada bisa
menyangkal. Komar sebenarnya sudah mengiba sejadi - jadinya dan memohon
untuk dilepaskan, namun petugas tetap bergeming karena hukumlah yang
harus ditegakkan, bukan karena rasa kasihan. Malam itu Komar resmi
dijebloskan ke dalam sel tahanan untuk menunggu hari - hari persidangan
yang akan menjatuhinya dengan hukuman yang sepadan.
Sepanjang
malam, Komar hanya duduk meringkuk di sudut ruang tahanan. Ransum makan
malam, nasi dingin hampir basi berlauk tempe dan sayur kangkung yang
diberikan oleh petugas tak disentuhnya sesendokpun. Matanya yang merah
dan sembab menerawang menembus jeruji besi yang mengurungnya, seolah
berusaha mencari - cari dan menjangkau bayangan anak - anaknya di
kampung halamannya. Anaknya yang kecil sedang tergolek lemah didera
busung lapar. Anaknya yang besar, beberapa hari sebelumnya didiagnosa
dokter RSUD, menderita kelainan darah langka yang mengharuskan dia
selanjutnya harus ditransfusi setiap dua minggu sekali atau dioperasi
dengan biaya dan resiko yang sama - sama tinggi. Biaya yang senilai
ribuan kali pendapatan per hari Komarudin yang bekerja sebagai sais
Cidomo di Kota Mataram.
Itulah berita yang diterima Komar dari
kampung halamannya tentang nasib anak - anaknya yang sudah hampir 6
bulan tak ditengoknya. Berita yang diterima kemarin pagi, dua hari
sebelumnya dari tetangganya melalui HP milik rekannya si pemilik Cidomo.
Berita yang membuatnya kalap dan gelap mata merampok teman - teman
kostnya untuk bekal pulang menemui anak - anaknya. Berita yang
mengantarkannya ke tahanan polisi di Kota Mataram, yang "kondisinya temaram dan udaranya dingin"alias Komarudin, seperti namanya.
Dan
malam itu, bagi Komarudin, malam menjadi terasa semakin temaram dan
udara pun menjadi semakin dingin, jika mengingat temaramnya malam dan
dinginnya udara di bilik papan rumah ibunya di kampung halaman, dimana
kedua anaknya tergolek tak berdaya sambil merintih memanggil -
manggilnya: "Amaa ... Amaa ...
Sumber: Vemale.com