Sahabat, Alhamdulillah, segala puji
bagi Allah SWT. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah
Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, keluarga dan para sahabatnya.
Aamin.
Sahabat, ramadhan tentu menjadi bulan yang banyak dinanti orang muslim
di seluruh penjuru dunia. Mengapa tidak? Ramadhan adalah waktu yang baik
utnuk melakukan beragam kebaikan, karena dibulan ini Allah memberikan
pahala dan big sale pahala. Semua dilipat gandakan dalam jumlah yang
banyak. Di bulan ini pun banyak kejadian-kejadian menakjubkan yang
mungkin pahala kita mengerjakannya pun bisa diibaratkan setahun kita
berpuasa, apalagi kalau bukan berpuasa syawal, dan di bulan ini pun ada
pula hari ibarat seribu bulan.
Banyak orang yang semangat mengerjakan kebaikan, namun tak jarang yang
biasa saja menjalaninya. Tak jarang, ada beberapa orang yang sangat
semangat mengisi Ramadhan sampai-sampai ia melarang untuk melakukan
hubungan suami istri pada malam harinya. Ia pun memberi fatwa dan
anjuran untuk tidak melakukan jima’ dengan istri agar bisa lebih
maksimal dalam menjalankan kebaikan di bulan yang mulia. Bagaimana
sebenarnya kedudukan jima’ (hubungan suami istri) di malam Ramadhan?
Bagaimana pula hukum orang yang melarangnya karena untuk memaksimalkan
ibadah di malam-malam tersebut, sahabat?
Berdasarkan keterangan dari Badrul Tamam yang dikutip dari voa islam.
Sesungguhnya melakukan jima’ (hubungan suami istri) di malam-malam
Ramadhan adalah mubah sebagaimana makan dan minum. Hal itu didasarkan
pada keterangan yang sangat jelas dari Al-Qur’an dan kesepakan kaum
muslimin. Allah SWT berfirman:
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan
istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah
pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat
menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf
kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah
ditetapkan Allah untukmu.” (QS. Al-Baqarah: 187)
Al-Jashshah berkata, “Maka Allah membolehkan jima’, makan, dan minum
pada malam-malam puasa dari sejak awal malam sampai terbit fajar.”
Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah berkata: Bolehnya kita melakukan
hubungan dengan pasangan kita, adalah rukhshah atau keringanan dari
Allah bagi kita kaum muslimin. Dan Allah mengangkat hukum yang berlaku
di awal Islam., yang apabila salah seorang mereka sudah berbuka maka
halal baginya makan, minum, dan jima’ sampai shalat isya’ atau tidur
sebelum itu.
Maka kapan ia telah tertidur atau shalat Isya’ diharamkan atasnya makan
minum, dan jima’ sampai malam berikutnya. Merekapun mendapati hal itu
sangat berat. Dan rafats di sini adalah: al-Jima’, (seperti) yang
dikatakan Ibnu ‘Abbas, ‘Atha’, Mujahid, Sa’id bin Jubair, Thawus, Salim
bin Abdillah, Amru bin Dinar, al-Hasan, Qatadah, al-Zuhri, al-Dhahak,
Ibrahim al-Nakha’I, al-Sudi, Atha’ al-Khurasani, dan Muqatil bin
Hayyan.” (Selesai dari perkataan beliau)
Maka jika orang tersebut meyakini haramnya jima’ pada malam-malam puasa
dan menfatwakan hal itu, maka ia dalam bahaya besar karena menyelisihi
Sharihul Qur’an (ketarangan Al-Qur’an yang sangat jelas). Ia harus
bertaubat kepada Allah dengan taubatan nasuha karena telah melarang
sesuatu yang dihalalkan.
Jika larangan jima’ yang dia keluarkan dalam rangka mencari yang lebih
baik dan lebih utama. Lebih baik orang-orang menyibukkan diri dengan
ibadah dan macam-macam amal ketaatan pada bulan ini dan tidak larut
dalam syahwat-syahwat terhadap pasangan kita, maka urusannya lebih
ringan.
Tetapi, tidak lantas dia benar seratus persen, dia tetap salah. Karena
berjima’ pada malam-malam puasa adalah dibolehkan. Tidaklah orang
tersebut lebih wara’ (menjaga diri dari yang haram) dari pada Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan para sahabatnya. Tidak pernah
didapatkan satu keterangan dari mereka yang melarang hal itu, kecuali
siapa yang beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan. Maka
ia tidak boleh mendekati istrinya sebagaimana yang sudah maklum. Dan
dalam hadits diterangkan,
“Adalah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, apabila sudah masuk pada
sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, maka beliau menghidupkan
malamnya, membangunkan keluarganya, dan mengencangkan tali ikat
pinggangnya.” (Muttafaq ‘Alaih dari ‘Asiyah Radhiyallahu ‘Anha)
Imam al-Syaukani rahimahullah menerangkan, “Perkataannya: Dan Syadda
Mi’zarahu (mengencangkan tali ikat pinggangnya), maknanya menjauhi
istri-istrinya.”
Boleh jadi menggauli istri pada malam-malam puasa terdapat maslahat yang
lebih, yaitu kalau disertai niat yang baik sebagai bentuk qurbah dan
tha’ah. Karena hal itu bisa membantu seseorang untuk menundukkan
pandangan dan menjaga kemaluannya. Oleh karena itu, Allah Ta’ala
berfirman, “Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah
ditetapkan Allah untukmu.” (QS. Al-Baqarah: 187)
Syaikh al-Sa’di rahimahullah berkata, “(Maka sekarang) sesudah adanya
rukhshah dan kelapangan dari Allah ini, (campurilah mereka) dengan
bersetubuh, ciuman, dan belaian, serta yang lainnya. (Dan carilah apa
yang telah ditetapkan Allah untukmu) maksudnya: niatkan dalam menggauli
istri-istrimu itu sebagai taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah
Ta’ala. Dan tujuan utama dari berjima’ terebut adalah untuk mendapatkan
keturunan, menjaga kehormatan farjinya dan farji istrinya, dan
mendapatkan tujuan-tujuan pernikahan.”
Adapun jika tujuannya meninggalkan jima’ dengan istrinya pada
malam-malam puasa tidak membahyakan dirinya, maka tidak mengapa (tidak
berdosa), karena ia meninggalkan hal yang mubah. Dan ini tetap tidak
apa-apa (tidak ada dosa) kecuali jika hal itu menyiksa istri karena tak
terpenuhi kebutuhan batinnya. Maka ia tidak boleh menyakiti dan menyiksa
istrinya dengan keputusannya tersebut. Bahkan, termasuk kewajiban para
suami adalah menjaga ‘iffah (kesucian) istrinya dan memenuhi kebutuhan
batinnya sesuai dengan kemampuan suami dan kebutuhan istri. Maka masih
berlakukah pendapat yang melarang jima’ di malam Ramadhan sesudah jelas
izin Allah bagi para hamba-Nya? Wallahu Ta’ala A’lam.
Bagaimana sahabat, setelah mendapatkan penjelasan diatas, semoga tidak
cukup hingga disini, tapi sahabat juga mencari referensi lain, untuk
memperkaya tsaqafah islamiyah kita. Agar apa yang kita lakukan semua
atas landasan. Semoga bermanfaat. Salam Semangat Ramadhan.
sumber : republikapos.com